SENI TENUN

Tenunan adalah suatu
proses hasil jalinan atau sulaman benang-benang secara selang-seli antara
benang loseng ( yang menunggu ) dengan benang pakan ( yang mendatang ) untuk
dijadikan sehelai kain. Seni tenunan adalah suatu warisan yang terus mendapat
tempat istimewa dalam kebudayaan Nusantara. Faktor yang mendorong perkembangan
seni tenunan ini dapat disorot pada kepentingan kedudukan rantau ini dari segi
geografi. Sebagai tempat persinggahan kapal yang strategik, Nusantara menjadi
tumpuan utama pedagang dari Tanah Arab, India dan China. Antara barangan yang
didagang ketika itu ialah kain termasuk kain tenun. Oleh sebab itu, seni
tenunan di Nusantara banyak dipengaruhi dari negara-negara tersebut. Di antara
tenunan yang paling terkenal ialah Songket Melayu dan Tenunan Pua peribumi Borneo. Perusahaan tenunan ini banyak dilakukan di negeri
Pantai Timur khususnya di negeri Kelantan, Terengganu dan Pahang. Teknik hasil
kraftangan tenunan utama yang menampakkan keseragaman tekstil Melayu. Kain
tenunan beerti kain atau tekstil yang dihasilkan dengan teknik tenunan yang
dibuat daripada benang. Tenunan awal yang dihasilkan dengan menggunakan alat
tenun duduk, yang masih kekal dalam budaya masayarakat Iban. Masyarakat Bajau
Darat atau Iranun juga mewarisi alat tenunan duduk, tetapi berkembang
kemudiannya dengan alat tenun berkaki seperti alat tenunan di wilayah budaya
tekstil Meayu pesisir yang lain. A.J Hill ( 1949 ) beranggapan bahawa menenun
adalah perusahaan yang tertua yang telah dihasilkan di Terengganu dan Kelantan
dengan menggunakan ‘kei berkaki’. Peralatan yang lebih maju berbeza dengan
alatan duduk suku Iban, Iranun, Bajau, Batak ( ikat Pakan ).
A.
Asal-usul
Dari
kapas menjadi benang,
Pilin
benang menjadi kain.
Bidal tua Melayu
di atas merupakan tugu pengingat dan simbol kreatifitas masyarakat Siak
mengubah kapas menjadi tenunan nan eksotik yang menjadi simbol keagungan, yaitu
Tenun Siak. Tenun Siak, sebagaimana namanya, merupakan tenunan tradisional yang
dihasilkan oleh masyarakat Siak, Provinsi Riau. Tenunan ini telah ada sejak
Siak masih berupa kesultanan dengan Tengku Said Ali, bergelar Sultan Assyaidis
Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810), sebagai
sultannya (www.melayuonline.com;
Adila Suwarno et.al., 2005:101), atau tenunan ini telah berumur lebih dari dua
abad.
Cikal bakal
keberadaan tenunan ini bermula ketika Encik Siti Binti Encik Karim, seorang
pengrajin tenun dari Kesultanan Trengganu, Malaysia, dibawa ke Kesultanan Siak
oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi. Sultan Syarif Ali
menugaskan Encik Siti agar mengajari para bangsawan Kesultanan Siak tata cara
bertenun (Dekranasda Riau, 2008:7). Oleh karena hanya untuk kaum bangsawan,
maka tahap awal keberadaan kerajinan ini hanya untuk memenuhi kebutuhan busana
kaum bangsawan, khususnya para sultan dan keluarganya. Bagi sultan dan kaum
bangsawan Siak, tenunan ini menjadi simbol keagungan dan kewibawaan, sedangkan
bagi pengrajinnya merupakan simbol pengabdian kepada sultan dan keluarganya
(Pusdatin Riau, 2008:115).
Dalam
perkembangannya tenunan ini ternyata tidak hanya berkembang di lingkungan
Istana Siak, tetapi juga menembus tembok-tembok keraton dan menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Siak. Yusmar Yusuf (dalam Pusdatin Riau, 2007: 112)
mengilustrasikan secara apik betapa tenunan ini telah menyatu dengan masyarakat
Siak.
“Di
kampung-kampung apabila kita melewati rumah orang-orang yang sedang bertenun,
akan terdengar orang melantak sisir dan torak…. trak-trak….. sreeet…
trak-trak….. sreeet. Begitulah bunyi torak yang terdengar berirama yang
diselingi dengan suara anak dara yang tertawa renyah…”
Perkembangan
dari sekedar kerajinan kaum bangsawan menjadi kerajinan yang hidup dan
berkembang bersama masyarakat Siak secara keseluruhan, tidak serta merta
memudarkan spirit dari keberadaan awal tenunan ini di Kesultanan Siak. Demikian
juga dengan perkembangan zaman, walaupun zaman telah berubah dengan segala
dinamika yang melingkupinya, nilai-nilai yang terkandung dalam tenunan ini
tidak serta-merta juga berubah. Nilai itu adalah pengabdian kepada sultan dan
kerabatnya. Salah seorang pengrajin Tenun Siak, Masajo,
sebagaimana dikutip oleh Yusmar Yusuf (dalam PUSDATIN PUANRI, 2007: 112)
mengatakan:
“Pada
masa lalu hingga sekarang, menenun bukan saja kerja mencari duit, tetapi juga
sebagai bagian dari pengabdian kepada sultan, para datuk-datuk, dan pembesar
negeri lainnya… walau tidak seperti dulu, Tenun Siak tetap hadir di
tengah-tengah masyarakat sebagai pusaka yang bernilai… bak setanggi, dia
menyeruakkan aroma, dan mengharum hingga kini.”
Pada awalnya,
Tenun Siak dibuat dengan sistim tumpu. Seiring perkembangan zaman, proses
pembuatannya juga berubah, yaitu dengan alat yang bernama "Kik". Kik
adalah alat tenun yang cukup sederhana, terbuat dari bahan kayu berukuran
sekitar 1 x 2 meter. Oleh karena alatnya relatif kecil, kain yang dihasilkan
juga relatif kecil. Untuk membuat kain sarung misalnya, diperlukan dua helai
kain tenun yang disambung menjadi satu (kain berkampuh). Dan seiring
perkembangan zaman, alat tenun Kik diganti dengan Alat Tenun Bukan Mesin
(ATBM). Dengan alat ini, waktu pengerjaan tenunan lebih cepat dengan ukuran
kain yang dihasilkan lebih besar.
Sebagaimana kain
tradisional Melayu dari daerah lain, seperti Tenun Sambas, Kain Ulos, dan Tenun
Lampung, eksistensi Tenun Siak juga mengalami pasang-surut, bahkan semakin lama
perkembangannya semakin mengkhawatirkan. Salah satu penyebabnya adalah
ketidakmampuan Tenun Siak untuk bersaing dengan produk tekstil modern, baik
dalam keindahan desain, efektifitas pengerjaan, maupun harganya. Kondisi ini
menyebabkan Tenun Siak semakin lama semakin sedikit, khususnya gernerasi muda,
yang mau menggelutinya. Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan hal yang
mustahil jika tapak sejarah perjalanan Kesultanan Siak ini musnah tergilas
perkembangan zaman.
Untuk
menjamin kelangsungan eksistensi Tenun Siak, para pemangku kepentingan harus
bersama-sama melestarikan Tenun Siak. Secara garis besar, ada dua
model pelestarian yang harus dilakukan, yaitu secara pasif dan aktif. Secara
pasif yang dapat dilakukan untuk melestarikan Tenun Siak, yaitu: (a)
melakukan dokumentasi beragam corak dan motif Tenun Siak. Tenun Siak mempunyai
motif dan corak yang sangat kaya, dengan nilai-nilai budaya dan ekonomis yang
sangat tinggi. Hanya saja, seiring perkembangan zaman kekayaan corak, motif,
dan nilai-nilai yang dikandungnya tersisihkan dan terlupakan. Oleh karena itu,
upaya dokumentasi beragam motif dan corak Tenun Siak harus segera dilakukan;
(b) mempublikasikan hasil dokumentasi tersebut agar kekayaan motif dan corak
Tenun Siak diketahui masyarakat luas, khususnya generasi muda Siak. Dengan cara
ini, keragaman corak dan motif Tenun Siak akan diketahui oleh masyarakat,
sehingga memungkinkan untuk kembali diingat dan menjadi sumber inspirasi untuk
melestarikan dan mengembangkannya; (c) membuat proteksi terhadap motif dan
corak Tenun Siak. Dalam era global saat ini, memproteksi keberadaan sebuah
produk merupakan sebuah keniscayaan untuk melindunginya dari klaim-klaim pihak
tertentu.
Pelestarian
secara aktif dapat dilakukan dengan: (a) memperbanyak tenaga pengrajin Tenun
Siak. Kendala utama yang sering dihadapi untuk melestarikan kain trdisional,
seperti Tenun Siak, adalah semakin minimnya jumlah para pengrajin. Sedikitnya
ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu: pertama, menjadi pengrajin
tidak bisa menjadi tumpuan untuk hidup. Jika ini yang menjadi kendalanya, maka
tugas para pemangku kepentingan adalah melakukan langkah kreatif agara para
pengrajin tenun mendapat jaminan hidup masa depan yang lebih baik; kedua,
minimnya kesadaran dan kecintaan generasi muda pada Tenun Siak. Ketidakpedulian
atau ketidaktertarikan generasi muda belajar menenun terkadang tidak
semata-mata karena mereka tidak mencintai khazanah warisan budaya, tetapi
karena mereka tidak mendapat informasi yang cukup memadai tentang tenunan
tersebut. Oleh karena itu yang diperlukan adalah menumbuhkan kecintaan anak
muda terhadap tenunan ini; (b) mengeksplorasi nilai ekonomis Tenun Siak.
Agar masyarakat tertarik untuk berpartisipasi dalam pelestarian Tenun Siak,
maka salah satu yang paling praktis adalah menjadikan Tenun Siak sebagai sumber
ekonomi masyarakat. Jika Tenun Siak telah menjadi sumber ekonomi, maka dengan
sendirinya masyarakat akan melestarikan tenunan ini. Agar menjadi sumber
ekonomi, sedikitnya ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu memperluas wilayah
penjualan, dan memperbanyak derivasi hasil produk.

Derivasi
produk Tenun Siak
B.
Bahan-Bahan dan Peralatan
Bahan-bahan yang
diperlukan untuk membuat Tenun Sambas, antara lain:
Kapas. Kapas
merupakan bahan dasar untuk membuat Tenun Siak. Pada zaman dahulu, para
pengrajin tenun melakukan sendiri proses memintal kapas menjadi benang.
Biji-biji kapas yang baru dipanen keluarkan dengan cara dijemur. Setelah
biji-bijinya dipisahkan oleh panas matahari, kapas itu dipintal menjadi benang,
sebagaimana bidal Melayu, ”dari kapas menjadi benang, pilin benang benang
menjadi kain” (dalam PUSDATIN PUANRI, 2007: 108-109). Saat ini, para pengrajin
tidak perlu lagi memintal kapas menjadi benang, karena benang untuk membuat
tenunan telah banyak dijual di toko-toko. Oleh karena benang tidak dibuat
sendiri oleh para pengrajin, maka waktu yang diperlukan untuk membuat selembar
Tenun Siak menjadi semakin sedikit
Proses
menggulung/mengelos benang tenun
·
Pewarna. Bahan ini diperlukan untuk mewarnai benang yang
hendak digunakan untuk membuat Kain Tenun Sambas. Pewarnaan benang berdasarkan
warna Kain Tenun Songket yang hendak dibuat. Bahan pewarna menggunakan
bahan-bahan alami. Untuk membuat warna merah menyenggau, dilakukan dengan
merebus buah kesumba keling yang dicampur dengan kapur. Warna jingga dihasilkan
dari rebusan campuran umbi temu kuning dengan kapur, atau dari campuran kulit
manggis dengan kapur yang direbus dengan celisan manggar kelapa. Hitam dari
pencelup hitam semcam wantek. Hijau dari rebusan campuran daun kayu nodo dan
kapur. Warna biru merupakan hasil campuran dari senduduk/kenduduk dan temu
lawak. Sedangkan warna coklat dari rebusan kayu samak (dalam PUSDATIN PUANRI,
2007: 113). Untuk menghasilkan warna yang diinginkan, diperlukan waktu yang
relatif cukup lama. Saat ini, telah tersedia pewarna yang dijual di toko-toko
dengan kualitas beragam sesuai dengan keinginan si pengarajin, sehingga proses
pewarnaan benang relatif lebih mudah dengan waktu yang lebih singkat.

Dari kiri atas searah jarum jam, proses pewarnaan benang:
(a) membersihkan benang, (b) mencampur zat pewarna, (c) mencelupkan benang, (d)
menjemur benang
- Benang emas. Tenun Siak tidak dapat dipisahkan dari
benang jenis ini. Benang ini digunakan untuk membuat motif tenunan.
Secara garis besar,
peralatan yang digunakan untuk membuat Tenun Siak ada dua macam, yaitu Kik dan
atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Untuk peralatan Kik, diperlukan tambahan
sebagai berikut:
- Karap, yaitu alat pemisah
benang atas dengan benang bawah.
- Sisir, yaitu alat pemisah
susunan benang lonsen/longsi.
- Belebas, alat bantu menyusun motif.
- Peleting,
bambu kecil tempat benang lintang.
- Torak, alat tempat peleting.
Torak
- Lidi
pemungut, alat bantu membentuk motif.
- Pijak-pijak,
yaitu
alat pijak untuk menggerakkan benang lonsen ke atas dan ke bawah mengapit
benang pakan.
- Bangku-bangku,
tempat
duduk penenun (Dekranasda Riau, 2008: 90).
ATMB merupakan
penyempurnaan dari alat tenun Kik. Jika pada Kik peralatan-peralatan pendukung
berada terpisah, maka pada ATMB semua peralatan menyatu dalam satu alat,
sehingga proses pembuatan tenunan menjadi lebih efektif dan mudah, dengan waktu
pembuatan relatif lebih cepat. Jika menggunakan Kik waktu yang diperlukan untuk
membuat selembar kain sekitar 3-4 minggu, maka dengan ATMB cukup antara 5-7
hari.
Sisir
pada Alat Tenun Bukan Mesin (ATMB)
C.
Proses Pembuatan
1.
Tahap Persiapan
Pada tahap
persiapan, ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu:
- Membuat motif tenunan. Tahap paling awal dari proses
pembuatan Tenun Siak adalah membuat pola dan motif tenunan. Membuat pola dan motif harus dilakukan dengan teliti dan
tidak asal menggambar.
- Mempersiapkan bahan-bahan. Setelah pola dan motif dibuat,
maka tahap selanjutnya adalah mempersiapkan benang-benang, baik warna yang
diinginkan maupun jumlah yang diperlukan, untuk membuat tenunan yang
hendak dibuat.
- Mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Keberadaan
peralatan sangat menentukan kelancaran proses pembuatan tenunan. Biasanya,
peralatan untuk menenun telah tersedia, sehingga yang diperlukan adalah
mengecek jikalau ada masalah dengan peralatan-peralatan yang telah
tersedia.
2.
Tahap Pembuatan
Setelah pola dan motif
dibuat, benang-benang yang diperlukan disiapkan, dan peralatan telah siap
pakai, maka proses pembuatan Tenun Siak dapat segera dimulai. Proses pembuatan
Tenun Siak adalah sebagai berikut:
a.
Dengan Menggunakan Kik
Tahap pertama
pembuatan Tenun Siak adalah menerau, yaitu mengumpulkan untaian
benang dan menggulungnya pada seruas bambu. Selanjutnya, gulungan benang
tersebut disusun menyatu dengan benang lainnya hingga mencapai panjang sekitar
20-30 cm. Kemudian dilanjutkan dengan mengani, yaitu proses menggulung
benang pada gulungan yang terletak diujung Kik. Selanjutnya, benang yang telah
digulung pada ujung Kik di rentangkan sesuai dengan panjang Kik. Benang yang
terentang ini disebut longsi atau lonsen. Setelah benang
terentang, proses membuat selembar tenunan dapat dimulai (Dekranasda Riau,
2008: 90).
Seorang pengrajin sedang menenun menggunakan Kik
b. Dengan Menggunakan
ATMB.
Membuat Tenun Siak
menggunakan ATMB tidak jauh berbeda dengan menggunakan Kik. Hanya saja karena
ATMB merupakan penyempurnaan dari Kik, penggunaan ATMB menjadikan proses
menenun menjadi lebih mudah dan efektif, dengan waktu pengerjaan yang lebih
efisien, serta hasil kain yang lebih lebar.
Proses awal
pembuatan tenunan menggunakan ATMB relatif sama dengan menggunakan Kik, yaitu
menyusun benang dan menggulungnya pada ujung ATMB (mengani). Kemudian
benang yang diani direntangkan menjadi benang longsi, dan ditarik
ke pangkal dengan terlebih dahulu disisipkan menggunakan gun (karap),
dan sisir besi.
Proses
menghani benang tenun
Kemudian pangkal gabungan
benang diikatkan pada paku penggulung. Selanjutnya, benang pakan dimasukkan
dari sisi kiri dan kanan melalui sebuah torak (teropong), yang di
dalamnya terdapat peleting (gulungan benang). Lalu, sisir besi
dihentakkan kearah penenun (melantak), sehingga terbentuk sebuah garis
kain baru dari hasil persilangan dua benang longsen dan pakan.
Demikian seterusnya hingga menjadi selembar kain yang direncanakan. Pembentukan
motif biasanya dilakukan bersamaan dengan proses menenun, yaitu dengan
menyisipkan benang
emas di antara
benang lonsen yang ada. Proses ini disebut memungut.
Proses membuat motif
(memungut)
3.
Pendistribusian
Setelah tenunan selesai
dibuat, ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu tenunan yang dihasilkan dijual
langsung, dan atau dibuat produk baru terlebih dahulu sebelum didistribusikan,
misalnya dijadikan tas, taplak meja, dan lain sebagainya. Pada zaman
dahulu, pendistribusian tenunan masih dilakukan dengan sangat sederhana atau
bahkan sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya untuk
melaksanakan ritual adat. Saat ini pendistribusian telah dilakukan menggunakan
sistim modern dengan banyak memanfaatkan media yang canggih
D. Motif
dan Corak Tenunan
Tenun Siak memiliki motif
dan corak yang relatif banyak. Motif dan corak Tenun Siak merupakan hasil dari
stilirisasi flora, fauna, dan alam sekitar. Proses stilirisasi terhadap apa
yang dilihat di lingkungan sekitar menunjukkan betapa para pengrajin Tenun Siak
tidak saja memiliki pemahaman mendalam terhadap alam sekitarnya, tetapi juga
imajinasi yang tinggi untuk melukiskan apa yang dipahaminya dalam selembar
tenunan. Dalam “Khazanah Kerajinan Riau” (Dekranasda Riau, 2008: 16-17)
disebutkan beberapa motif dan corak Tenun Siak, antara lain:
a.
Hasil dari stilirisasi flora (tumbuh-tumbuhan).
- ampuk
Manggis
- Bunga
Kenanga
- Bunga
Teratai
- Bunga
Kundur
- Akar
Berjalin
- Pucuk
Dara
- Bunga
Kangkung
|
- Bunga
Melur
- Bunga
Tanjung
- Bunga
Hutan
- Kaluk
Paku
- Daun
Pandan
- Tampuk
Pedade
- Bunga
Kiambang
|
- Bunga
Cina
- Bunga
Cengkeh
- Bunga
Kecubung
- Daun
Sirih
- Pucuk
Rebung
- Tolak
Berantai
- Kembang
Sepatu
|
b.
Hasil dari stilirisasi fauna (hewan).
- Semut
Beriring
- Siku
Keluang
- Ayam-ayaman
- Itik
Sekawan
|
- Balam dua
- Naga-nagaan
- Ikan-ikanan
- Ulat
|
c.
Hasil dari stilirisasi alam sekitar.
- Potong
Wajit
- Bintang-bintang
- Jalur-jalur
- Pelangi-pelangi
|
- Awan Larat
- Perahu
- Sikat-sikat
- Bulan Sabit
|
Dalam
pemanfaatannya, beragam motif di atas biasanya digunakan secara kombinasi,
yaitu dengan menggabungkan beberapa motif. Dari hasil kombinasi tersebut,
dihasilkan beragam motif baru yang unik dan menarik, seperti:
Pucuk Rebung Berpadu,
Pucuk Rebung Berkawan, Pucuk Rebung Tikam Menikam, dan lain sebagainya.
E. Nilai-nilai
Tenun Siak
merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang dipahami dan dihayati oleh
masyarakat Siak, Provinsi Riau. Oleh karenanya, dengan memperhatikan, membaca,
dan memahami corak dan motif Tenun Siak, kita akan mengetahui nilai-nilai
tersebut. Nilai-nilai tersebut, di antaranya adalah nilai sakral, pengabdian,
pemahaman terhadap alam, kreatifitas, inklusifitas, dan nilai ekonomis.
Pertama, nilai
sakral. Tenun Siak merupakan salah satu perlengkapan dari pelaksanaan ritual
adat dan keagamaan masyarakat Siak, seperti ritual penobatan sultan, temu adat,
dan ritual perkawinan. Sebagai pelengkap ritual adat dan keagamaan, maka Tenun
Siak baik secara implisit maupun eksplisit merupakan pengejawantahan dari
keyakinan masyarakat Siak.
Kedua,
nilai pengabdian. Pada awalnya, para pengrajin tenun membuat tenunan ini
tenunan sebagai persembahan untuk sultan. Sebagai persembahan kepada sultan,
proses pembuatan tenunan ini dilakukan dengan hati-hati, dan penuh kecermatan
sehingga menghasilkan tenunan yang bermutu tinggi. Dengan kata lain, keindahan
Tenun Siak merupakan manifestasi dari pengabdian sang penenun kepada sultannya.
Ketiga, nilai
pemahaman terhadap alam. Corak dan motif Tenun Siak merupakan refleksi
pemahaman masyarakat Siak kepada alam sekitarnya. Para pengrajin melukiskan
alam yang dia lihat, baik berupa flora, fauna, maupun fenomena kealaman lainnya
pada selembar kain tenun. Dengan melihat dan mempelajari motif Tenun Siak, kita
tidak saja akan mengetahui keaneka ragaman lingkungan alam Siak, tetapi juga
kosmologi masyarakat Siak.
Keempat, nilai
kreatifitas dan ketekunan. Ragam hias dan motif pada Tenun Siak merupakan bukti
dari kreativitas imajinasi masyarakat Siak. Mereka menghayati alam dan
”melukiskannya” dalam selembar kain. Proses memindahkan ”lukisan” alam ke dalam
selembar kain memerlukan daya kreatif yang tingi, ketekunan, dan daya imajinasi
yang kuat. Tanpa ketiga hal tersebut, mustahil akan lahir Tenun Siak, sebuah karya
seni yang bermutu tinggi
Kelima, nilai
ekonomi. Dalam paradigma ekonomi kreatif, maka kreatifitas mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Harus disadari bahwa Tenun Siak tidak saja memiliki nilai
kultural, tetapi juga nilai ekonomis tingi. Jika telah ada kesadaran ini, maka
Tenun Siak dapat menjadi sumber penghidupan. Jika tenunan ini telah menjadi
sumber penghidupan, maka dengan sendirinya masyarakat akan tertarik untuk
mengembangkannya, sehingga proses pelestarian akan terus berjalan.
F.
Penutup
Tenun Siak merupakan
manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini, hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat Siak. Tenunan ini juga menjadi media untuk mewariskan
nilai-nilai tersebut, sehingga dapat menjadi landasan generasi sesudahnya untuk
hidup dan membangun kebudayaan yang lebih baik tanpa tercerabut dari akar
lokalitasnya.